Perkawinan Beda Agama dalam Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Laki-Laki Muslim Dengan Wanita Non Muslim
Abstrak
Pluralitas dalam agama memunculkan perkawinan beda agama sebagai pergerakan atau pencetus yang di perdebatkan dalam indonesia pada umum nya islam pada khususnya. Pertama, ada yang berbeda menurut penafsiran di kalangan ulama’ atau fuqoha’ mengenai hal ini di pengaruhi beberapa penjelasan yang terdapat di dalam Al-Quran. Yang ke dua karena indonesia bukan negara yang sekuler,legalitas perkawinan di atur dalam hukum positif bahwa nilai-nilai agama dapat di terapkan. Yang ke tiga pengertian tentang hak asasi manusia juga penentang pemecah masalah bagi pasangan yang mengusulkan pernikahan beda agama. Namun dengan demikian, faktor yuridis dan filosofis mendasari keberadaan tersebut. Perkawinan beda agama mengalami kekosongan hukum. pernikahan beda agama diklasifikasikan pada tiga katagori: pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik; pernikahan pria muslim dengan wanita non islam(ahlul kitab), dan pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim. Secara regulatif, pernikahan beda agama di Indonesia tidak memiliki kekuatan hukum, sebab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif telah melarang nikah beda agama. Karena itu, Kantor Urusan Agama maupun Catatan Sipil tidak akan melakukan pencatatan administratif atas peristiwa nikah beda agama. Kesimpulan nya adalah kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama harus di jawab dengan seluruhnya dan hukum yang ada di indonesia.
Kata Kunci: Perkawinan beda agama menurut hukum islam, dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita non muslim.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Secara sederhana dalam kamus besar bahasa Indonesia(KBBI), perkawinan atau pernikahan diartikan dalam kata dasarnya menjadi melangsungkan pembentukan keluarga dengan lawan jenis. Pengertian tersebut tidak jadi masalah ketika tidak menyentuh landasan idealisme, ketika seseorang atas dasar kepercayaannya tidak menjadikan suatu perkawinan itu dibolehkan atas dasar agama. Padahal, dalam konsep HAM yang diusung oleh Barat, seseorang tidak boleh dibedakan hanya karena landasan agamanya, termasuk untuk melangsungkan pernikahan. Konsep HAM ini kemudian sangat bertentangan dengan konsep HAM dalam Islam. Dalam Islam, secara awam, membatasi boleh/tidaknya melakukan perkawinan beda agama dengan menyematkan sebutan kafir, dzimmi, maupun orang-orang musyrik pada orang mukmin.Hal yang demikian membuat tolak pikir umum, yakni haramnya perkawinan beda agama. Namun, dalam konteks sosial, khususnya di Indonesia yang sebanyak 85% lebih penduduknya beragama Islam,[1] menjadi dinamika sosial yang patut mendapat perhatian dalam kasus perkawinan beda agama. Indonesia memiliki keberagaman dari berbagai aspek, tidak terkecuali agama yang menyebabkan adanya kemungkinan keberlangsungan pernikahan beda agama.Pada Tahun 1980, sebanyak 24677 pasangan di Indonesia melakukan pernikahan beda agama. Selanjutnya pada tahun 1990, sebanyak 26688 pasangan di Indonesia melakukan hal yang demikian. Serta hasil terbaru yang ditemukan oleh penulis, pada tahun 2000, 2673 pasangan didatasebagai pihak yang melakukan pernikahan beda agama.[2]Dengan terjadinya dinamika sosial tersebut, disertai adanya pertanyaan masyarakat tentang kebolehannya, para ulama yang tergabung dalam majelis ulama Indonesia kemudian berusaha memberikan dalil agama untuk memberikan kepastian hukum terhadap kasus ini. Dalam fatwanya, MUI menyatakan dengan bernbagai landasan dalilbahwa perkawinan beda agama adalah haram sama sekali[3]yang padahal bertentangan dengan jumhur ulama.
Dari berbagai kondisi sosial yang ada, serta faktor yuridis dan filosofistentang keberadaan pernikahan beda agama yang ternyata setelah ditinjau lebih mendalam memilik banyak kekosongan pemikiran, baik dalam pertentangan antara konsepsi HAM dalam kasus ini, bahkan hingga perbedaan pendapat para ulama.
PEMBAHASAN
- Pernikahan Beda Agama Dalam Islam
- Pengertian dan Hukum Pernikahan dalam Islam
Nikah dalam dalam Bahasa Arab bermakna (al-wath’u) yakni bersetubuh atau berhubungan intim[4] atau juga bisa bermakna penyambungan atau penghubungan.[5] Sementara menurut kamus munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan senggama.[6]
Nikah secara Terminologi di kalangan ulama ushul berkembang dua macam pendapat tentang arti lafaz nikah,yaitu: Nikah menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi. Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh, demikian menurut ahli ushul golongan Syafi’iyah.[7]
Meski pendapat diatas mengemukakan bahwa pada dasarnya pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan laki-laki hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruhtubuhnya untuk berhubungan badan atau merupakan sesuatu yang hanya berurusan dengan duniawi saja, akan tetapi perkawinan dalam Islam memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak hanya pengaturan aspek biologis semata, melainkan persoalan psikologis, sosiologis, dan teologis.[8] Karena didalam pernikahan, terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan anak, masyarakat bahkan kepada Allah.
Hukum pernikahan menurut jumhur ulama’ adalah sunnah, sementara menurut pendapat sebagian besar pengikut Maliki menyatakan bahwa hukum pernikahan sunnah, sementara sebagian yang lain menyatakan wajib dan sebagian lain menyatakan mubah.[9] Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan adanya shighat amr (tanda perintah) dalam firman Allah swt, QS an-Nisa:4 yang berbunyi: “…fankihuu maa thoobalakum mina annisaa…”.[10]
Selain itu juga ada hadist nabi Muhammad SAW yang mengatakan: “tanaakahuu fa inni mukatsirun bikumul umam”,[11] Tanda perintah dua dasar hukum dalam Islam inilah yang menyebabkanterjadinya perbedaan pendapat dalam hukum pernikahan menurut penganut mazhab Maliki.
- Dasar Pernikahan Beda Agama
Dalam Islam Pernikahan beda agama diatur dalam Surat Al-Baqoroh:221 yang menerangkan larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka beriman.[12] Selain itu didalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 terdapat adanya larangan mengembalikan wanita Islam yang hijrah dari Makkah ke Madinah kepada suami mereka di Makkah dan meneruskan hubungan rumah tangga dengan perempuan kafir.[13] Meski secara tegas dalam Islam terdapat pelarangan pernikahan beda agama dalam teori, namun dalam terdapat teori yang memunculkan adanya kesempatan untuk terjadinya pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat Islam dengan wanita ahli kitab, pembolehan pernikahan dengan ahli kitab ini dimuat dalam surat al-Maidah ayat 5 yang menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli kitab bagi kaum muslim.[14]
Dari seluruh teori yang telah dituliskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnyahukum Islam melarang adanya pernikahan beda agama. Di Indonesia, lima agama yang diakui memiliki pengaturan tersendiri terkait dengan pernikahan beda agama. Agama Kristen/Protestan memperbolehkan pernikahan beda agama dengan menyerahkan pada hukum nasional masing-masing pengikutnya. Hukum Katholik tidak memperbolehkan pernikahan beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu. Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan mengembalikan kepada adat masing-masing daerah, sementara agama Hindu melarang keras pernikahan beda agama.[15]
- Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Pembahasan pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
- Pernikahan dengan Non Muslim atau kafir.
- Pernikahan dengan ahli kitab.
Dalam pembedaan dua kategori antara non muslim/kafir dengan ahli kitab ini memang terdapat sebuah pembedaan yang menimbulkan konsekuensi dalam hukumnya, non muslim kafir adalah orang-orang yang mengingkari Tuhan,[16] sementara pengertian ahli kitab adalah orangyang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil, dan Zabur.[17]
- Pernikahan dengan non muslim atau kafir
Definisi kafir dan muslim merupakan definisi yang sangat luas, para ulama’ berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan oleh pakar AlQur’an, Syeikh Muhammad Abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran dan tujuan agama.[18] Tentu saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al Qur’an menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum seperti terdapat dalam QS. surat Al-Hajj: 17“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara merekapada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.[19]
Dalam ayat Al Qur’an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non muslim, yaitu Yahudi, Nasrani, ash-Shabi’ah atau ash-Shabiin, al-Majus, al-Musyrikun. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Yahudi adalah kaum bangsa Israel yang mengamalkan ajaran nabi Musa menggunakan kitab Taurat.
- Nasrani atau Nashara yang diambil dari nama Nashiroh (tempat lahir nabi Isa), mereka adalah kelompok yang mengajarkan ajaran nabi Isa.
- Ash-Shabi’ah, yaitu kelompok yang mempercayai pengaruh planet terhadap alam semesta.
- Al-Majus yaitu para penyembah api yang mempercayai bahwa jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-masingnya bergerak kepada yang baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang celaka dan seterusnya,[20] dan Al-Musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah SWT, tapi dalam ritual mempersekutukannya dengan yang lain seperti penyembahan berhala, matahari dan malaikat.
Dari pengertian Non muslim atau kafir diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lawan dari kata kafir adalah mukmin,orang yang mengimani Allah. Dalam surat Al-Mumtahanah menjelaskan bahwa adanya pelarangan untuk tetap meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita kafir, sampai mereka beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para ulama’.[21] Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non muslim atau kafir juga didasarkan pada surat Al-Baqoroh:221. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah penyembah berhala.[22] Larangan pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan Instruksi Persiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf c KHI.[23] Sementara larangan pernikahan beda agama bagi wanita diatur dalam pasal 44 KHI.[24] Secara Normatif laranganmenikah beda agama ini tidak menjadi masalah, karena hal tersebut sejalan dengan ketentuan al-Qur’an yang disepakati oleh para fuqaha’.[25]
- Pernikahan dengan ahli kitab.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orangorang Israel, tidak termasuk bangsabangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh imam Syafi’i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam Hambali dan mayoritas pakar hukum Islam yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memiliki kitab dan dapat diduga sebagai kitab suci.[26]
Pendapat terakhir ini kemudian diperluas lagi oleh para ulama’ kontemporer, sehingga mencakup para agama-agama yang ada di Indonesia seperti Hindu dan Budha. Sementara menurut Ulama’ Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir al-Manaar, setelah beliau memahami dan mepelajari segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama, beliau menyimpulkan bahwa wanita musyrikyang tidak diperbolehkan dinikahi yang disebutkan dalam Al-Qur’an QS AlBaqoroh:221 adalah wanita musyrik arab. Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli kitab juga didukung oleh pendapat jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa QS Al-Maidah:5 merupakan bentuk pengkhususan dari QS Al-Baqoroh: 221, sehingga pernikahan dengan ahli kitab menjadi diperbolehkan.[27] Pendapat ini juga mendapat dukungan dari Syafi’iyyah yang menolak bahwa QS Al-Maidah: 5 yang bersifat khusus dihapus oleh surat Al-Baqoroh:221, akan tetapi mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab tersebut harus memenuhi kriteria tertentu.[28]
Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli kita dirumuskan oleh sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa QS Al-Maidah: 5 merupakan bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu QS Al-baqoroh: 221 yang kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus.[29] Senada dengan pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada zaman beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab, karena keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah.[30]
Dari dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya para ulama’ Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum pernikahan beda agama terkait dengan seorang laki-laki muslim yangmenikahi wanita non muslim yang ahli kitab. Perbedaan ini pada dasarnya berimplikasi terhadap huku pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal dan haram.
- Tinjauan Perkawinan Laki-Laki Muslim Dengan Wanita Non Muslim(Wanita AhlulKitab)
- Pandangan Ulama terhadap Hukum Menikahi Wanita Ahlul Kitab
Menurut pendapat jumhur ulama, terdiri dari ulama empat mazhab, Imam Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali, serta pengikutnya, bahwa seorang muslim halal menikahi wanita-wanita ahli kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai ahli zimmah, dan yang menjaga kehormatannya.[31] Labih lanjut, dikatakan bahwa wanita ahlul kitabberbeda dengan wanita musyrik. Artinya, wanita ahlul kitab merupakan wanita yang secara hukum mendapat perlakuan khusus. Salah satunya yaitu boleh menikahinya.
Menurut jumhur fuqaha (Imam Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali), sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, bahwa ayat di atas berlaku khusus hanya bagi wanita-wanita ahlul kitab. Lebih lanjut, wanita ahlul kitab pada ayat di sini berbeda dengan wanita musyrik.
Adapun alasan logis tentang diperbolehkannya menikahi wanita ahlul kitab yaitu karena ada hal-hal pokok yang bisa dicari titik temunya antara mereka ahlul kitab dengan laki-laki muslim. Diantaranya pengakuan adanya Tuhan, iman kepada para Rasul dan hari Akhir serta iman kepada hari pembalasan. Adanya titik temu dan jembatan penghubung inilah yang pada umumnya bisa menjadi pondasi kehidupan rumah tangga yang lurus. Selain itu, diharapkan dari pernikahan tersebut akhirnya wanita ahli kitab tadi bisa masuk Islam, karena sebenarnya dia telah beriman kepada para Nabi dan kitab-kitab suci secara global.[32]Sayyid Sabiq menambahkan bahwa, meskipun menikahi wanita ahlul kitab dibolehkan, tetapi kebolehannya lebih utama ditinggalkan. Artinya, tingkat kebolehannya itu berada pada tingkatan makruh. Ketika dikerjakan tidak mendapatkan apapun namun ketika ditinggalkan mendapatkan pahala.[33]Yusuf al-Qardhawi, seorang ulama kontemporer juga memandang hal yang sama, bahwa menikahi wanita ahlul kitabadalah dibolehkan dan dibenarkan.[34] Lebih lanjut, ditegaskan bahwa meskipun mereka (wanita ahlul kitab) dianggap kufur dan sesat, namun Islam memperbolehkan seorang muslim menikahinya, baik setelah terjadinya penggantian tentang ajaran kitabnya, maupun sebelumnya.[35]
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa meskipun sebagian besar ulama memperbolehkannya, tetapi untuk segolongan ulama lainnya justru mengharamkannya, dan ada juga ulama yang mengambil jalan tengah.[36] Ulama yang mengharamkan menikahi wanita ahlul kitab seperti yang dinukil oleh Abdullah bin Umar, bahwa kelompok Syi‟ah Imamiyah mengharamkan pernikahan jenis ini. Adapun dalilnya adalah mengacu pada makna umum surat al-Baqarah ayat 221 yang menyebutkan menikah dengan wanita musyrik.
Menurut pendapat ini, wanita ahlul kitab termasuk dari kalangan wanita musyrik berdasarkan keumuman makna surat al-Baqarah ayat 221 sebagaimana telah dikutip sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan pendapat ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum menikahi wanita ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani adalah masalah hukum yang masih diperdebatkan (khilafiyah). Akan tetapi, merujuk pada pendapat yang masyhur, sebagaimana pendapat jumhur sebelumnyabahwa menikahi wanita ahlul kitab tetap diperbolehkan hingga saat ini. Tetapi, prinsip utama pernikahan dalam Islam adalah mengutamakan wanita berdasarkan agamanya, yaitu agama Islam (sebagaimana tersebut dalam hadis sebelunya).
- Menurut Pandangan Ibnu Taimiyah tentang Perkawinan Laki-Laki Muslim dengan Wanita non muslim(Ahlul Kitāb)
Sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa kata ahlul kitāb tidak lain diartikan hanya untuk kalangan orang-orang yang secara sosiologis, merupakan masyarakat yang mempunyai kitab suci. Dalam hal ini, hanya dikhususkan pada orang-orang Yahudi dan Nasrani saja, meskipun pemeluk agama lainnya juga memiliki kitab suci,[37] tetapi istilah ahlul kitāb yang dipahami oleh ulama-ulama terdahulu hanya orang-orang yang diberi kitab, yaitu dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
Pada dasarnya, penyebutan ahlul kitāb yang bermakna kaum Yahudi dan Nasrani juga berlaku secara umum, tanpa ada pengkhususuan kelompok tertentu dari mereka. Berangkat dari sini, dapatlah dipahami bahwa siapa pun yang mengaku sebagai Yahudi ataupun Nasrani, maka dia adalah ahlul kitāb.Sebagaimana kesepakatan ulama, termasuk di dalamnya Imam Ibnu Taimiyyah, bahwa orang-orang ahlul kitāb termasuk dari kalangan orang-orang kafir, karena telah melakukanperbuatan yang menyimpang dari ajaran dan risalah kitab yang diajarkan kepada mereka.[38]
Pada dasarnya, pada masa Rasulullah hidup, wanita-wanita yang dimasukkan dalam kategori ahlul kitab sebenarnya telah mempersekutukan Allah (musyrik). Mengutip penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, “Ighāṡah al-Laḥfān”, bahwa upaya untuk mengubah agama nabi Isa (al-Masih) telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Hinggaupaya tersebut terbukti dan substansi ajarannya benar-benar hilang. Di mana, orang-orang Nasrani telah mencampuradukkan agama al-Masih dengan agama para ahlifilsafat penyembah berhala. Ibnu Qayyim juga menyatakan bahwa kemusyrikan orang-orang Nasrani telah terjadi sekitar 300 (tiga ratus) tahun sebelum diutus Nabi Muhammad SAW. Adapun agama Yahudi juga demikian, mereka telah musyrik sejak sebelum Nabi Muhammad diutus sampai sekarang.[39]
Keterangan yang menunjukkan orang ahlul kitab juga telah berbuat musyrik pada masa Rasulullah diperkuat dengan penjelasan penerjemah kitab “Ighāṡah al-Laḥfān”. Ainul Haris (penerjemah Ighāṡah al-Laḥfān) menyebutkan bahwa banyak ulama terdahulu maupun kontemporer yang mengarang kitab-kitab tentang telah diubahnya Taurat dan Injil dan penyimpangan ajaran mereka menjadi ajaran syirik. Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengubah kitab-kitab mereka sesuai dengan konsili-konsili keagamaan yang mereka adakan.[40]
Berdasarkan penjalasan di atas, dapat disimpulkan bahwa orangorang Yahudi dan Nasrani (ahlul kitab) pada masa Rasulullah juga telah berbuat musyrik. Namun demikian, ulama masih berbeda dalam menetapkan hukum pernikahannya. Perbedaan ini berkisar pada apakan ahlul kitab masih dalam kategori orang musyrik, atau dikhususkan sehingga boleh menikahinya. Berangkat dari topik pembahasan ini, bahwa Ibnu Taimiyyah juga memaknai ahlul kitāb sebagai orang-orang yang diberi kitab, yaitu dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Namun menariknya, pemaknaan ahlul kitāb menurut Ibnu Taimiyyah nampaknya dibatasi oleh ada tidaknya penggantian dan perombakan atas ajaran dari masing-masing kitab suci tersebut. Dengan kata lain, ahlul kitab yang dipahami oleh Ibnu Taimiyah yaitu ahlul kitab yang masih menerapkan ajaran-ajaran asli (autentik) dari kitab suci yang dianut.[41]
Ibnu Taimiyyah memaknai ahlul kitāb sebenarnya berangkat dari ketentuan ayat yang menyatakan bahwa antara orang-orang Yahudi dan Nasrani, dipisahkan penyebutannya dengan orang Shabi‟in, Majusi dan orang-orang Musyrik. Sebagaimana makna tersebut dipahami dari ketentuan Al-Qur‟an Surat al-Haj ayat 17:
Yang Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi‟in, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
Meskipun orang-orang Yahudi dan Nasrani yang notabene sebagai ahlul kitāb dipisahkan penyebutannya dengan orang-orang musyrik seperti pada ayat tersebut di atas, namun menurut Ibnu Taimiyyah mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) disifati sebagai orang-orang yang musyrik juga. Selain itu, pemaknaan ahlul kitāb ini juga berangkat dari ketetapan Al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 5:
YangArtinya:
‘’Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”.
Ibnu Taimiyah memandang makna ahlul al-kitāb dalam ayat tersebut yaitu mereka yang agama dan kitab-kitabnya diturunkan bagi umat Yahudi dan Nasrani. Tetapi, agama dan kitab-kitab tersebut pada dasarnya bebas dari kesyirikan. Karena asal mula agama ahlul kitāb tidak ada ajaran tentang syirik, melainkan ajaran tauhid. Untuk itu, bagi orangorang yang beragama Yahudi dan Nasrani yang kemudianmempersekutukan Allah, maka mereka dapat digolongkan kepada orangorang musyrik, bukah ahlul kitāb.[42]
Dalam kitab “Majmu‟ Fatāwa”,[43] Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa asal mula ahli kitāb tidak ada ajaran syirik. Karena Allah mengutus para nabi dengan ajaran tauhid. Semua yang beriman kepada para utusan Allah dan kitab yang diturunkannya, tidak mengenal adanya ajaran syirik di dalam ajaran aslinya. Namun, orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadikannya ajaran syirik. Dengan demikian, mereka harus dibedakan sebagai orang-orang musyrik. Sebelum terjadi penghapusan dan penyimpangan kitab, maka mereka dalam keadaan beriman.[44]
Berdasarkan pendapatnya di atas, dapat dipahami orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masuk dalam kategori ahlul kitāb menurut Ibnu Taimiyyah adalah mereka yang kitab-kitabnya masih asli, tidak ada ajaran syirik di dalamnya. Untuk itu, dapat diperoleh pemahaman umum bahwa karena kedua agama tersebut telah melakukan perombakan dan penggantian ajaran aslinya, maka menurut Ibnu Taimiyyah, mereka bukan lagi masuk dalam cakupan ahlul kitāb, melainkan sebagai orangorang musyrik. Sedangkan menurut pendapat jumhur ulama, orang Yahudi dan Nasrani yang telah berbuat musyrik juga masuk dalam kategori ahlul kitab.Terkait dengan hukum menikahi wanita ahlul kitāb,Ibnu Taimiyyah juga merujuk pada ketentuan Al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 5 seperti telah dituliskan di atas, dengan potongan ayat berbunyi:
Yang Artinya:
“(dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”.
Bolehnya menikahi wanita ahlul kitāb menurut Ibnu Taimiyyah merujuk pada ketentuan ayat tersebut.[45] Namun demikian, wanita ahlul kitāb yang dibolehkan dinikahi ini berbeda dengan wanita musyrik yang dilarang untuk dinikahi, yaitu wanita yang telah mempersekutukan Allah. Sebagaimana dimaksudkan dalam surat al-Baqarah ayat 221, dengan potongan ayat berbunyi:
Yang Artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”.
Ketentuan ayat tersebut menurut Ibnu Taimiyah telah dikhususkan oleh surat al-Maidah yang turunnya lebih akhir. Untuk itu, menikahi wanita ahlul kitāb dibolehkan.[46] Pertanyaan yang timbul kemudian yaitu apakah kebolehan menikahi wanita ahlul kitāb tersebut hanya berlaku terhadap wanita ahlul kitāb yang belum ada penggatian danpenyimpangan ajarannya, atau tercakup juga setelah penggantian dan penyimpangan ajarannya? Dalam hal ini, tentu dikembalikan kepada makna ahlul kitāb seperti telah disebutkan Ibnu Taimiyah di atas. Di mana, menurut beliau wanita dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang telah menyimpang dan mempersekutukan Allah masuk kategori orangorang musyrik, bukan ahlul kitāb.[47]Sehingga, hukum menikahinya berlaku ketentuan Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 221, yaitu diharamkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah memandang hukum menikahi wanita ahlul kitāb adalah tetap boleh. Namun dengan batasan di mana berlakunya hukum boleh tersebut yaitu untuk wanita-wanita ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang tidak mempersekutukan Allah. Untuk itu, bagi wanita yang mempersekutukan Allah, meskipun ia beragama Yahudi atau Nasrani, tidak bisa dinikahi, karena mereka termasuk sebagai orang-orang musyrik.
- Metode Istinbath Hukum Menurut Imam Ibnu Taimiyah dalam menetapkan Hukum Laki-Laki Menikahi Wanita Non Muslim(Ahlul Kitāb)
Penetapan hukum boleh atau tidaknya menikahi wanita ahlul harus dikembalikan kepada ketentuan surat al-Maidah ayat 5. Namun, perbedaan dalam memaknai maksud ahlul kitāb justru berujung pada berbedanya produk hukum yang dikeluarkan. Hal ini terlihat jelas seperti pendapat Ibnu Taimiyyah, yang hanya memaknai wanita ahlul kitāb sebagai wanita dari kalangan Yahudi dan Nasrani sebelum adanya penggantian ajaran kitab suci mereka. Pendapat yang ditetapkan Ibnu Taimiyyah ini justru memiliki landasan hukum tersendiri, serta metodepenemuan hukumnya.Jika dicermati pendapat Ibnu Taimiyyah, penetapan hukum menikahi wanita ahlul kitāb erat kaitannya dengan ketentuan dua ayat Al-Qur‟an, yaitu surat al-Baqarah ayat 223 dan surat al-Maidah ayat 5. Surat al-Baqarah menjelaskan tentang larangan menikahi wanita musyrik. Berdasarkan al-Baqarah ayat 223, jelas bahwa terdapat larangan menikahi wanita musyrik sebelum ia beriman. Namun, dalam kaitannya dengan ketentuan surat al-Maidah ayat 5 (telah dikutip sebelumnya), menimbulkan beberapa pertanyaan, apakah wanita ahlul kitāb masuk dalam cakupan orang-orang musyrik atau tidak. Dalam hal ini, beliau memberikan tiga jawaban umum atas ketentuan ini:[48]
Pertama, wanita ahlul kitāb bukan dari golongan orang-orang musyrik. Pada poin ini, dijelaskan bahwa wanita ahlul kitāb bukan dari golongan orang-orang musyrik berdasarkan firman Allah surat al-Hajj ayat 17:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabi‟in orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.
Dalam beberapa kitab tafsir, misalnya tafsir al-Miṣbāḥ,[49] dan Ṣafwah al-Tafsīr,[50] masing-masing karya dari M. Quraish Shihab danMuhammad Ali al-Sabuni, menyebutkan bahwa ayat tersebut mengandung pengertian pemisahan antara orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ahlul kitāb, dengan orang-orang Majusi, Sabi‟in, dan orang musyrik. Demikian juga menurut Ibnu Taimiyyah, bahwa mereka (ahlul kitāb) sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 5 berbeda dengan wanita musyrik. Namun, beliau menegaskan kembali, yang dimaksud ahlul kitāb yang boleh dinikahi yaitu wanita yang pada asalnya tidak memperserikatkan Allah.[51]
Orang-orang musyrik sebagaimana dituangkan dalam surat al-Baqarah ayat 221 sebelumnya dalam pengertian Ibnu Taimiyyah termasuk wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah membuat kesyirikan. Dalam hal ini, wanita ahlul kitāb disebutkan sebagai wanita musyrik bukan dengan isim (penamaan/kata benda), tetapi penyebutannya dengan fi‟il (kata kerja).[52] Artinya, ahlul kitāb merupakan nama tersendiri dan musyrik juga nama tersendiri. Untuk itu, wanita ahlul kitāb tidak disebut sebagai wanita musyrik, akan mereka dikatakan musyrik karena perbuatannya yang mempersekutukan Allah. Ketika ahlul kitāb berbuat syirik, maka ahlul kitāb (yang berbuat syirik) ini masuk dan disifatkan sebagai orang-orang musyrik (artinya bukan ahlul kitāb dalam pengertian hakiki/sebenarnya).[53]
Kedua, wanita ahlul kitāb masuk sebagai orang musyrik, tetapi dikhususkan. Jawaban kedua atas permasalahan ini menurut Ibnu Taimiyah bahwa wanita ahlul kitāb masuk sebagai orang musyrik, tetapi dikhususkan. Maksudnya, ketentuan surat al-Baqarah ayat 221 tentang wanita musyrik bersifat umum, ini berarti wanita ahlul kitāb masuk dalam kategori wanita musyrik. Akan tetapi, ketentuan ayat tersebut kemudian dikhususkan dengan adanya ketentuan surat al-Maidah ayat 5.[54]
Ketiga, ketentuan surat al-Maidah telah me-nasakh (menghapus) ketentuan surat al-Baqarah. Disebutkan bahwa surat al-Maidah ayat 5 telah menghapus ketentuan surat al-Baqarah ayat 221. Oleh karena itu, ayat yang terakhir turun menghapus ayat sebelumnya ketika ada pertentangan hukum. Namun, ditegaskan kembali oleh Ibnu Taimiyyah, di mana awal mula ahlul kitāb ini berada dalam keimanan, tetapi mereka (disifati sebagai orang musyrik sebagimana telah disebutkan sebelumnya) menjadi kafir.
Maka dari itu dapat diketahui bahwa Ibnu Taimiyah membedakan wanita ahlulkitāb yang menyimpang dengan wanita ahlul kitāb yang masih menjalankan ajaran asli kitab suci mereka. Metode penemuan hukum (metode istinbāṭ hukum) yang digunakan Ibnu Taimiyyah lebih kepada penalaran bayanī. Metode bayanī yaitu metode dalam menemukan hukum dengan melihat pada kaidah kebahasan yang dimuat dalam AlQur‟an.[55] Istilah lain dari metode bayanī yaitu metode lughawiyyah. Al Yasa‟ Abubakar menyatakan bahwa metode lughawiyyah yaitu penalaran yang bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan.[56] Namun, dalam tulisan ini penulis memilih istilah bayanī. Metode bayanī ini jika dilihat dalam literatur Ushul Fiqh sangat luas pembahasannya, yaitu mencakup kajian tentang makna khusus (khaṣ) dan makna umum („ām) suatu ayat, nasakh, muṭlaq dan muqayyad, dan lain sebagainya.[57]
Metode bayanī yang digunakan Ibnu Taimiyyah lebih ditekankan pada kajian lafal „ām (makna umum) dan lafal khaṣ (makna khusus) dari ketentuan surat al-Baqarah ayat 221 dan surat al-Maidah ayat 5. Ketentuan surat al-Maidah tersebut bukan menghapus (nasakh) ketentuan surat al-Baqarah sebagaimana penjelasan poin ketiga di atas, melainkan surat al-Maidah hanya bersifat khusus (khaṣ), sedangkan surat al-Baqarah bersifat umum („ām).[58] Untuk itu hukum, menempatkan wanita ahlul kitāb pada posisi yang berbeda (dikhususkan) dengan wanita musyrik. Kekhususan ini terletak pada dibolehkannya laki-laki menikah dengan wanita ahlul kitāb.
Maka dari itu, kekhususan boleh menikahi wanita ahlul kitāb tersebut tidak berhenti pada ranah hukum menikah saja, tetapi menurut Ibnu Taimiyyah, mereka (ahlul kitāb) harus dilihat pada ada tidaknya penyimpangan ajaran kitab yang diturunkan kepada mereka. Jika ada penyimpangan, maka ahlul kitāb dalam makna ini tidak diperbolehkan untuk dinikahi, karena secara hukum mereka telah mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang-orang musyrik secara umum, yaitu mempersekutukan Allah.Atas dasar penemuan hukum tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa menurut Ibnu Taimiyyah, hukum menikahi wanita ahlul kitāb masih berlaku, tetapi berlakunya bagi wanita-wanita ahlul kitāb yang belum menyimpang dari ketentuan ajaran asli kitab-kitab mereka. Jika kenyataannya telah menyimpang, seperti dapat dibuktikan dewasa ini, maka berdasarkan pendapat Ibnu Taimiyah wanita tersebut tidak masuk dalam wanita ahlul kitab yang diperbolehkan untuk dinikahi.
KESIMPULAN
Dari sini dapat di ambil kesimpulanBahwa dalam Islam, pernikahan beda agam pada dasarnya dilarang. Akan tetapi terdapat pengecualian apabila pasangan laki-laki adalah seorang mukmin dan pasangan perempuan adalah ahli, pada pasangan semacam inilah para ulama’ berbeda pendapat dalam menghukumi. Kaidah ushul fiqh “ idza ijtama’a baina al halal wal haram ghuliba al-haram” bisa dijadikan solusi dalam pengambilan hukum sebagai bentuk ihtiyaat atau kehati-hatian dalam pelaksanaan syariah Islam. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
-
- karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
- seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
- seorang wanita yang tidak beragama Islam
- Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Menurut pendapat Imam Ibnu Taimiyah mengenai hukum menikahi wanita non muslim(ahlul kitab) sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalil hukum yang digunakan Imam Ibnu Taimiyah dalam menetapkan hukum menikahi wanita ahlul kitab merujuk pada ketentuan surat al-Maidah ayat 5. Pendapatnya yaitu laki-laki boleh menikahi wanita non muslim(ahlul kitab) yang tidak mengerjakan kesyirikan. Namun, wanita non muslim(ahlul kitab) yang perbuatannya terbukti syirik (mempersekutukan Allah), maka mereka masuk dalam cakupan makna surat al-Baqarah ayat 221, yaitu orang-orang musyrik yang dilarang untuk dinikahi. Adapun metode istinbāṭ yang digunakan Imam Ibnu Taimiyyah yaitu metode bayyanī. Dimana, ketentuan surat al-Maidah ayat 5 bersifat khusus (khaṣ), dan surat al-Baqarah ayat 221 bersifat umum („ām). Untuk itu, ketentuan surat alMaidah tentang bolehnya menikahi wanita ahlul kitab masih berlaku, tetapi ahlul kitab di sini dikhususkan hanya wanita Yahudi dan Nasrani yang tidak mengerjakan perbuatan syirik.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mawārid al-Amān al-Muntaqū min Ighāṡah alLaḥfān fī Maṣāyid al-Syaiṭān, ed. In, Manajemen Qalbu: Melumpuhkan Senjata Syetan, (terj: Ainul Haris Umar Arifin Thayib), cet. 6, (Jakarta, Dar Ibnul Jauzi, 2005), hlm. 423- 435. 2
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia, Agama di Indonesia, dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_ di_Indonesia, di akses pada tanggal 23 Jan uari 2012 Dimuat dalam artikel berjudul Fakta Empiris Nikah Beda Agama di http://blog. umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07/faktaempiris-nikah-beda-agama/, diakses pada tanggal 23 Januari 2012
Faeshol Jamaluddin, Analisis Fatwa MUI Nomor :4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama, dimuat dalam http://idb4.wikispaces.com/file/view/ bu4001.pdf, diakses pada tanggal 23 Januari 2012
Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer (alAshri) Arab- Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003), hlm. 1943
A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,2002), hlm. 1461
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala alMadzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al Fikr, t.th), Juz. IV, hlm. 3
Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta :Total Media Yogyakarta, 2006), hlm.69.
Imam al-Qodhi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut :Dar al Fikr,2008), juz II, hlm. 3
Al-Qur’an dan terjemahanya, QS. an-Nisa: 3
Imam Qodhi, Op. Cit, hlm. 3
Lihat Landasan Teori hlm.3
Karsayuda, Op. Cit, hlm:87
Zuhdi Muhdhor dan Atabik Ali, Op. Cit, hlm.1512
Masri Elmahsyar Bidin, Prinsip Hubungan Muslim dan Non Muslim dalam Pandangan Islam, diakses pada tanggal 22 januari 2012 di ttp://www.google.co.id.
M. Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda Ketahui,( Jakarta : Lentera Hati, 2008 ) hlm. 772.
Al-Qur’an dan terjemahanya, QS Al Hajj: 17.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Volume 9) (Jakarta :Lentera Hati , 2002), hlm. 29
Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
Karsayuda, Op.Cit, hlm. 69.
Karsayuda, Op.Cit, hlm: 7
M.Quraish Shihab, M. Quraish…,Op. Cit,hlm: 595
Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
Karsayuda, Op.Cit, hlm. 79
Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm.36
M.Quraish Shihab, M. Quraish …,Op.Cit, hlm. 597.
Hamid Sarong, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, cet. III, (Banda Aceh: YayasanPeNA, 2010), hlm. 67
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī..., hlm. 149.
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (terj: Asep Sobari, dkk), Jilid 2, cet. 5, (Jakarta: al-I‟Tishom, 2012), hlm. 101
Yusuf al-Qardhawi, Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām, ed. In, Halal dan Haram dalam Islam, (terj: Mu‟ammal Hamidy), (Jakarta: Bina Ilmu, 1993), hlm. 170.
Yusuf al-Qardhawi, Al-Ḥalāl wal Ḥarām..., hlm. 206
Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 162.
Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa Ibn Taimiyah, (penyusun: Abdurrahman bin Muhammad ibnu Qasim), ed. In, “MajmuFatawatentangNikah”, (terj: Abu FahmiHuaidi&Syamsuri an-Naba), (Jakarta: PustakaAzzam, 2002), hlm. 161
Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 161.
Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 169. Dalam kitabnya “AlFaṣl fī al-Milāl wa al-Ahwā` wa al-Nihāl”,
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mawārid al-Amān al-Muntaqū min Ighāṡah alLaḥfān fī Maṣāyid al-Syaiṭān, ed. In, Manajemen Qalbu: Melumpuhkan Senjata Syetan, (terj: Ainul Haris Umar Arifin Thayib), cet. 6, (Jakarta, Dar Ibnul Jauzi, 2005), hlm. 423- 435. 2
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mawārid al-Amān..., hlm. 446.
Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa Ibn Taimiyah, (penyusun: Abdurrahman bin Muhammad ibnu Qasim), ed. In, “MajmuFatawatentangNikah”, (terj: Abu FahmiHuaidi&Syamsuri an-Naba), (Jakarta: PustakaAzzam, 2002), hlm. 161.
Saikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 161.
Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 169. Dalam kitabnya “AlFaṣl fī al-Milāl wa al-Ahwā` wa al-Nihāl”, Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa Ibn Taimiyah, (penyusun: Abdurrahman bin Muhammad ibnu Qasim), ed. In, “MajmuFatawatentangNikah”, (terj: Abu FahmiHuaidi&Syamsuri an-Naba), (Jakarta: PustakaAzzam, 2002), hlm. 160
Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 162.
Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 162
Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 161-163
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur‟an, cet. 8, jilid 7, (Jakarta: Lentara Hati, 2007), hlm. 59-59.
Muhammad Ali as-Shabuni, Ṣafwah al-Tafsīr, ed. In, Tafsir-Tfsir Pilihan, (terj: Yasin), Jilid 4, (Jakarta: Pustala al-Kausar, 2011), hlm. 290.
Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 161.
Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 161
Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 162.
Analiansyah, Ushul Fiqh III, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009), hlm. 49.
Al Yasa‟ Abubakar, Metode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 18.
Syarifuddin, Ushul Fiqh III, cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 178
Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 162.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mawārid al-Amān al-Muntaqū min Ighāṡah alLaḥfān fī Maṣāyid al-Syaiṭān, ed. In, Manajemen Qalbu: Melumpuhkan Senjata Syetan, (terj: Ainul Haris Umar
Arifin Thayib), cet. 6, (Jakarta, Dar Ibnul Jauzi, 2005), hlm. 423- 435. 2
[1] Wikipedia, Agama di Indonesia, dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_ di_Indonesia, di akses pada tanggal 23 Januari 2012
[2]Dimuat dalam artikel berjudul Fakta Empiris Nikah Beda Agama di http://blog. umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07/faktaempiris-nikah-beda-agama/, diakses pada tanggal 23 Januari 2012
[3]Faeshol Jamaluddin, Analisis Fatwa MUI Nomor :4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama, dimuat dalam http://idb4.wikispaces.com/file/view/ bu4001.pdf, diakses pada tanggal 23 Januari 2012
[4]Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer (alAshri) Arab- Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003), hlm. 1943
[5]Ibid, hlm: 1026
[6]A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,2002), hlm. 1461
[7]Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala alMadzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al Fikr, t.th), Juz. IV, hlm. 3
[8] Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta :Total Media Yogyakarta, 2006), hlm.69.
[9]Imam al-Qodhi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut :Dar al Fikr,2008), juz II, hlm. 3
[10] Al-Qur’an dan terjemahanya, QS. an-Nisa: 3
[11]Imam Qodhi, Op. Cit, hlm. 3
[12] Lihat Landasan Teori hlm.3
[13]Ibid
[14]Ibid
[15]Karsayuda, Op. Cit, hlm:87
[16]Zuhdi Muhdhor dan Atabik Ali, Op. Cit, hlm.1512
[17]Masri Elmahsyar Bidin, Prinsip Hubungan Muslim dan Non Muslim dalam Pandangan Islam, diakses pada tanggal 22 januari 2012 di ttp://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j& q=pengertian+ahli+kitab+dalam+Islam&so urce=web&cd=1&ved=0CB0QFjAA&url= http%3A%2F%2Fwww.ditpertais.net%2Fa nnualconference%2Fancon06%2Fmakalah %2FMakalah%2520Masri.doc&ei=gs4cT9 mHJoK4rAeysOGEDQ&usg=AFQjCNHo OxR3-aLet3wVScgtKoQm7XcO3A
[18]M. Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda Ketahui,( Jakarta : Lentera Hati, 2008 ) hlm. 772.
[19]Al-Qur’an dan terjemahanya, QS Al Hajj: 17.
[20]Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah (Volume 9) (Jakarta :Lentera Hati , 2002), hlm. 29
[21]Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
[22]Karsayuda, Op.Cit, hlm. 69.
[23]Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama Islam
[24]Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
[25]Karsayuda, Op.Cit, hlm: 7
[26]M.Quraish Shihab, M. Quraish…,Op. Cit,hlm: 595.
[27]Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
[28]Karsayuda, Op.Cit, hlm. 79
[29]Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm.36
[30]M.Quraish Shihab, M. Quraish …,Op.Cit, hlm. 597.
[31]Hamid Sarong, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, cet. III, (Banda Aceh: YayasanPeNA, 2010), hlm. 67
[32]Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī..., hlm. 149.
[33]Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (terj: Asep Sobari, dkk), Jilid 2, cet. 5, (Jakarta: al-I‟Tishom, 2012), hlm. 101.
[34]Yusuf al-Qardhawi, Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām, ed. In, Halal dan Haram dalam Islam, (terj: Mu‟ammal Hamidy), (Jakarta: Bina Ilmu, 1993), hlm. 170.
[35]Yusuf al-Qardhawi, Al-Ḥalāl wal Ḥarām..., hlm. 206
[36]7Pendapat jalan tengah yang penulis maksudkan adalah pendapat ulama yang masih mengakui ketentuan surat al-Māidah ayat 5 tentang dibolehkannya menikahi wanita ahlul kitab. Akan tetapi, ahlul kitab yang dimaksud adalah dari kalangan Nasrani dan Yahudi yang kitab dan ajarannya masih asli, belum ada penyelewengan dan penggantian.
[37]Pemeluk agama lain yang penulis maksud seperti pemeluk agama Budha, dengan kitab sucinya: “Tripitaka”. Pemeluk agama Hindu dengan kitab suci: “Weda”, dan agama Kong Hucu memiliki tiga nama kitab suci, yaitu “Wu Jing (Kitab Suci yang Lima)”, “Si Shu (Kitab Yang Empat)”, dan kitab “Xiao Jing (Kitab Bhakti)”. Dimuat dalam situs: http://knowledge.com/6-agama-di-indonesia-beserta-kitab-sucinya/, diakses pada tanggal 11 Juli 2017. Namun, ketiga pemeluk agama ini tidak masuk dalam cakupan makna “ahlul kitāb
[38]Pendapat Ibnu Taimiyyah tentang kekafiran ahlul kitāb dimuat dalam kitabnya: “al-Aqnā‟” dan “Majmū‟ Fatāwā”, dirujuk dalam situs: https://muslim.or.id/19330-ahlulkitab.html, diakses pada tanggal 11 Juli 2017.
[39]Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mawārid al-Amān al-Muntaqū min Ighāṡah alLaḥfān fī Maṣāyid al-Syaiṭān, ed. In, Manajemen Qalbu: Melumpuhkan Senjata Syetan, (terj: Ainul Haris Umar Arifin Thayib), cet. 6, (Jakarta, Dar Ibnul Jauzi, 2005), hlm. 423- 435. 2
[40] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Mawārid al-Amān..., hlm. 446.
[41]Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa Ibn Taimiyah, (penyusun: Abdurrahman bin Muhammad ibnu Qasim), ed. In, “MajmuFatawatentangNikah”, (terj: Abu FahmiHuaidi&Syamsuri an-Naba), (Jakarta: PustakaAzzam, 2002), hlm. 161.
[42]yaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 161.
[43]Ibid
[44]Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 169. Dalam kitabnya “AlFaṣl fī al-Milāl wa al-Ahwā` wa al-Nihāl”, Ibnu Hazm menyebutkan sejarah Bani Israil sejak wafatnya Nabi Musa, dan dibuktikan bahwa kitab Taurat tidak lagi asli tetapi telah diubah-ubah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga menyebutkan hal yang sama dalam kitabnya: “Hidāyah al-Ḥayrān fī Ajwibatil Yahūdi wa al-Naṣāra”, bahwa Taurat dan Injil terdapat tambahan, penyimpangan dan pengurangan. Dikutip dalam artikel yang berjudul: “Kitab Taurat dan Injil Telah Berubah”, dimuat dalam wordpress.com: https://muhammadqosim.wordpress.com/2010/08/19/kitab-taurat-dan-injil-yang-telahberubah/, diakses pada tanggal 11 Juli 2017.
[45]Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa Ibn Taimiyah, (penyusun: Abdurrahman bin Muhammad ibnu Qasim), ed. In, “MajmuFatawatentangNikah”, (terj: Abu FahmiHuaidi&Syamsuri an-Naba), (Jakarta: PustakaAzzam, 2002), hlm. 160
[46]Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 162.
[47]Syaikh Islam Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatāwa..., hlm. 162
[48]Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 161-163
[49]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur‟an, cet. 8, jilid 7, (Jakarta: Lentara Hati, 2007), hlm. 59-59.
[50]Muhammad Ali as-Shabuni, Ṣafwah al-Tafsīr, ed. In, Tafsir-Tfsir Pilihan, (terj: Yasin), Jilid 4, (Jakarta: Pustala al-Kausar, 2011), hlm. 290.
[51]Lihat dalam Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā Ibnu Taimiyyah, ed. In, Majmu‟ Fatawa tentang Nikah, (terj: Abu Fahmi Huaidi dan Syamsuri an-Naba), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hlm. 161.
[52]Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 161.
[53]Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 161. Kalimat “bukan ahlul kitāb dalam pengertian hakiki” peneliti pakai karena sejauh analisa, bahwa Ibnu Taimiyah nampaknya memberi batasan terhadap maksud dari ahlul kitāb itu. Artinya, secara keseluruhan, wanita Yahudi dan Nasrani memang disebut sebagai ahlul kitāb , namun karena mereka telah menyimpang, maka mereka bukan ahlul kitāb dalam pengertian sebenarnya, dan meraka harus dibedakan dengan ahlul kitāb yang belum menyimpang, meskipun dewasa ini tidak ditemukan lagi. Jika belum menyimpang, inilah yang dimaksudkan dalam pengertian surat al-Maidah ayat 5 yang notabene dibolehkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.
[54]Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 162.
[55]Analiansyah, Ushul Fiqh III, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009), hlm. 49.
[56]Al Yasa‟ Abubakar, Metode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), hlm. 18.
[57]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh III, cet. 5, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 178
[58]Ibnu Taimiyyah, Majmū‟ Fatāwā..., hlm. 162.
Berita Terkait: