Perkawinan Sejenis Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
(Maulida Maulaya Hubbah*)
(*Mahasiswa KKL IAIN Jember 2020 pada PA Probolinggo)
A. Pendahuluan
Salah satu syarat sah dari suatu perkawinan menurut ketentuan hukum positif sebagaimana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa adanya ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan. Sementara itu, hukum Islam lebih lanjut menekankan bahwa perkawinan menjadi sah apabila terdapat tujuan untuk menegakkan ajaran agama dalam kesatuan kelurga yang bersifat parental.
Namun, masalah yang kemudian muncul adalah kebebasan hak asasi manusia (HAM) dalam menuntut kebebasan memilih dan menentukan perkawinannya. Salah satu kebebasan yang dikehendaki tersebut yakni perkawinan sejenis yang dilakukan oleh kaum gay dan lesbian. Perkawinan sejenis dipandang destruktif dan menyalahi kodrati fitrah manusia yang seharusnya dapat melakukan ikatan bersama lawan sejenis dan mendapat keturunan, namun berbeda dengan perkawinan sejenis yang lebih menginginkan hubungan menyimpang tersebut atas dasar cinta kasih sayang guna membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah.
Pengakuan hukum perkawinan sesama jenis kadang-kadang disebut sebagai kesetaraan perkawinan atau pernikahan setara, terutama oleh para pendukungnya. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi timbulnya perkawinan sesama jenis sebagaimana dimaksud, yakni (1) diskriminatif, maksudnya kaum gay dan lesbian belum memiliki ruang atau wilayah yang menurutnya belum dapat diterimanya di masyarakat yang pluralis dan multikultural seperti di Indonesia, sehingga kaum gay dan lesbian membentuk sebuah kelompok ataupun organisasi yang menuntut adanya legalisasi hak asasi manusia seperti halnya perkawinan sejenis tersebut.
B. Pembahasan
Adapun jenis dari diskrimanisi dalam hal ini disebut sebagai diskriminasi gender (2) stereotype, maksudnya kaum gay dan lesbian mendapat prasangka yang subjektif dan tidak tepat seperti penampilan, tingkah laku (feminim), dan hubungan dengan lingkungan hedonis. Tentu dalam hal ini, stereotype masyarakat memandang gay dan lesbian memiliki konsep orientasi seksual dengan peran gender yang memiliki risiko di kalangan masyarakat kebanyakan, sehingga gay dan lesbian merasa terpinggirkan dan diwaspadai. (3) psyco-social, maksudnya kaum gay dan lesbian membentuk identitas dirinya mulai sejak usia dini melalui hubungan dan interaksi yang kompleks atau secara biologis, psikologis dan faktor-faktor sosial lainnya .
Perkawinan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi . Adapun faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan ikatan tersebut (perkawinan), yakni (1) adanya saling suka dan saling menanggapi, (2) untuk melindungi kehormatan seseorang, (3) waktu dan uang, (4) adanya keterlibatan emosional, dan (5) adanya rasa aman. Perlu diketahui bahwa kelima faktor tersebut memiliki esensi yang berbeda ditiap-tiap daerah sesuai dengan adat istiadat di masing-masing daerah, yang intinya perkawinan itu sendiri adalah dilaksanakan untuk menjaga kemurnian sistem kekerabatan .
Adapun Hukum menikah berdasarkan satu riwayat hadist “Wahai segenap pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah ia menikah, karena nikah itu lebih membantu menundukkan pandangan mata dan lebih membentengi kemaluan (dari hal-hal yang diharamkan). Dan barangsiapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi obat pengekang baginya”
Lebih lanjut, masalah yang kemudian muncul adalah menyoal perubahan seiring dengan zaman kearah modernitas sebagai bagaian dari terori stimulus value role, yang mana menyebutkan bahwa perkawinan terjadi karena situasi yang bebas memilih akibat rangsangan (stimulus) ketertarikan fisik, perbandingan nilai (value) kesamaan atau sebaliknya dan peran (role) yang melengkapi. Kebebasan yang dimaksud dalam hal ini sudah dipisahkan dengan pakem atau adat istiadat dan juga agama. Salah satu kebebasan perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan sesama jenis atau sering disebut dengan pernikahan gay atau homoseksual. Pernikahan sesama jenis adalah pernikahan yang ditinjau secara normatif ataupun sosial diakuai hanya berjenis kelamin sama (laki-laki dengan laki-laki maupun perempuan dengan perempuan) .
Tentu dalam hal tersebut sudah menyeleweng dari syarat mutlak membentuk keluarga dengan perkawinan.Timbulnya penyelewengan tersebut atau adanya perkawinan sesama sejenis adalah akibat pengaruh konflik masyarakat yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial dari individu dan kelompok sosial berbasis pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal (kaum gay dan kaum lesbian). Konfik tersebut menuntut kaum gay dan kaum lesbian atas dasar persamaan hak asasi manusia dan juga kodrati.
Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan diatas pada perkawinan sesama jenis di Indonesia mengindikasikan bahwa belum ada keinginan masyarakat (individu gay atau lesbian) untuk melakukan keinginan berpasangan untuk membentuk keluarga melalui perkawinan. Hal ini disebabkan masyarakat Indonesia paham akan pakem dan juga menjunjung hukum dan adat (norma) . Namun, hal tersebut untuk zaman sekarang ini telah terbantahkan dengan adanya kejadian yang sangat langka yakni melangsungkan perkawinan sesame jenis namun secara legal dengan pemalsuan data.
Pada Suatu daerah di wilayah Jawa Timur telah terjadi perkawinan sejenis. Hal ini dilakukan secara legal dengan mendaftarkan dirinya ke KUA. Sang perempuan mengenakan baju layaknya perempuan yakni berkrudung dan bersuara lembut layaknya perempuan, serta menyerahkan berkas identitas drinya. Dari pihak KUA tidak mendapati hal mencurigakan. Kemudian perkawinan pun terjadi dan mendapatkan akte pernikahan yang sah .
Setelah sekian waktu pernikahan yang menyimpang tersebut terjadi, alhasil terbongkar bahwa pasangan tersebut sesame jenis yakni sama-sama pria. Kemudian pasangan tersebut dimintai keterangan dan diarahkan menuju pihak yang berwajib akibat perbuatannya yang terlarang tersebut. “Dari pihak KUA tidak menyadari adanya perkawinan sejenis tersebut, dan tidak ada wewenang memeriksa fisik pengantin terkait wanita atau pria, untuk kemudian lebih berhati-hati dalam mencatat akta perkawinan” ungkap Erfan selaku kepala KUA Kecamatan Ajung .
Secara normatif sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan pada asasnya dilakukan oleh hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yakni dengan tujuan memperoleh keturunan dan membina rumah tangga yang diharapkan. Lebih lanjut, Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu sendiri .
Sebagaimana dijelaskan pada perkawinan sesama jenis diatas, mengindikasikan bahwa hal tersebut menyalahi kodrat yang telah ditentukan hukum dan juga adat (pakem). Perkawinan sesama jenis secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dapat dilakukan, hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah disebutkan bahwa perkawinan adalah jalinan batin dan biologis antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Di sisi yang lain berdasarkan perspektif hak asasi manusia atau HAM, yang menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun yang menghendaki dilahirkan di dunia dengan keadaan yang menyimpang dan juga tidak dibenarkan adanya suatu kaidah hukum apapun membedakan orang yang satu dengan yang lain. Artinya, hubungan seksual yang menyimpang seperti perkawinan sejenis tidak dapat dianggap perbuatan dosa dan aib, karena telah mendapat pengakuan dan pengaturannya.
Hal ini tercermin dari ketentuan UUD 1945 Bab XA Pasal 28B (1) yang menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”, artinya kaidah dasar normatif tidak melarang berperilaku menyimpang (gay dan lesbian) maupun menuntut agar keinginan berpasangan untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah. Hal tersebut ditekankan kembali pada Pasal 28I (5) yang menyatakan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkawinan sejenis yang akan datang haruslah diupayakan menerima bagi kalangan agama dan masyarakat adat, baru kemudian negara memberikan legalitasnya dan bentuk hukum. Namun, HAM menjadi tidak berlaku apabila hubungan sejenis tersebut secara potensial menimbulkan penyakit seks menular, yakni tidak berlakunya pelayanan hukum keabsahan bagi hubungan mereka dalam peraturan perkawinan .
Hukum Islam senantiasa memperhatiakan kemaslahatan manusia dalam menghadapi masalah dalam kehidupannya, salah satunya terkait dengan substansi jiwanya yang berasal dari kehendak hawa nafsu manusia yang ingin melampiaskan seks di luar ketentuan hukum Islam. Penyimpangan biologis yang melanggar fitrah manusia seperti perkawinan sejenis dalam hukum Islam menentang secara keras, karena telah menyalahi aturan yang telah ada dalam Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum Islam yang telah ada .
Lebih lanjut mmenekankan bahwa Islam memberikan bentuk nash dalam perbuatan yang tercela yang pernah terjadi pada kaum Nabi Nuh dan Nabi Luth yang terbukti telah membawa malapetaka yang luar biasa baik berujud kutukan wabah penyakit dan lainnya (QS. Al-Ankabut (29): 28-35.
Selain itu juga, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempertegas dengan beberapa Pasal yang tidak jauh berbeda dengan hukum normatif, yakni syarat perkawinan yang sah adalah ikatan batin dan biologis antara laki-laki dan perempuan sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf d, Pasal 29 ayat (3) serta Pasal 30 KHI. Artinya, pasal-pasal KHI tersebut dengan tegas menyatakan melarang perkawinan sesama jenis apabila tidak ada ketentuan baku syarat sahnya sesuai dengan peraturan Undang-Undang dan juga agama. Lebih lanjut, dalil fikih ulama secara umum mekankan hukum haram bagi perkawinan sejenis, yakni; (1) pelaku (gay) harus dibunuh secara muthlak, (2) pelakunya (gay) harus di hadd sebagaimana hadd zina, yakni dengan hukuman muhsan maupun dirajam, dan (3) pelakunya harus disanksi sesuai perlakuannya .
Perkawinan sesama jenis (gay maupun lesbian) secara kodrati telah melawan fitrah hidup manusia yang dilahirkan untuk menjalin ikatan batin dan biologis antar lawan jenisnya, yakni antara laki-laki dan perempuan. Tinjauan hukum positif menekankan bahwa dalam UUP (Undang-Undang Perkawinan) menyebutkan perkawinan dibanguan atas dasar hukum perkawinan yang menetapkan bahwa suatu perkawinan merupakan ikatan lahir batin seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga dan meneruskan keturunan serta bertujuan menegakkan ajaran agama dan menjalankan adat istiadat.
Selain itu, perspektif HAM juga memberikan jaminan bahwa perkawinan sejenis dapat membentuk keluarga melalui lembaga perkawinan sepanjang hubungan mereka tidak berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat seperti menularkan penyakit seks menular. Sedangkan tinjauan hukum Islam secara jelas dan keras mengaskan perkawinan sejenis digolongkan dalam hukum haram, hal ini dikarenakan sudah tidak sesuai lagi dengan dalil syar’, hal ini dikarenakan bertentangan dengan nash-nash dalam Al-Quran dan Al-Hadist sebagai dasar hukum Islam. Oleh karenanya, perlu diupayakan dengan menekan hubungan gay dan lesbian guna menghindari adanya ketercelaan bahkan disertai ancaman-ancaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan, yakni melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum gay dan lesbian.
DAFTAR PUSTAKA.
Chasanah Nur. 2014 studi komparatif Hukum positif dan hukum islam di indonesia Mengenai perkawinan sejenis , Jurnal Cendekia .
https://nasional.tempo.co/read/1027662 yang di unduh pada 03 Februari 2020
Makhfudz, Muhammad. 2010. Berbagai Permasalahan Perkawianan dalam Masyarakat Ditinjau dari Ilmu Sosial dan Persamaan Kesempatan (EOC) Hukum. Jurnal Hukum UNDIP.
Nuansa Aulia. 2015 Khi, Hukum Perkawinan,Kewarisan Dan Perwakafan (Bandung: CV. Nuansa aulia,)
Sumiari, Endang. 2004 Gender dan Feminisme,( Yogyakarta: Penerbit Jala Sutra)
Tafsir Al-Azhar (Hamka). 1975. Surabaya: Bina Ilmu Offset
Thalib, Mohammad. 1997. Fikih Sunnah, Cet. Ke-13 Bandung: Al-Ma’arif,
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988.
H.R. Al-Bukhari No. 5066 dan Muslim No. 1400
wikipedia, diunduh pada 1 Februari 2020
Al-Qur’an Terdapat 7 (tujuh) surat yang menyatakan lingkupan homoseksual atau gay, yakni QS. Al-A;raf (7):80-102, QS. Hud (11):77-82, QS. Al-Anbiya’ (21):74, QS. Al-Syu’ara’ (26): 160-173, QS. An-Naml (27):54-58, dan QS. Al-Ankabut (29): 26-35, dikutip dari Tafsir Al-Azhar (Hamka), 1975, Surabaya: Bina Ilmu Offset, hal. 165
Berita Terkait: