Ketua dan Panitera PA Probolinggo Hadiri Pembinaan dan Halal bi Halal dari PTA Surabaya
Ketua Pengadilan Agama Probolinggo (Ibu Dr. Hj. Rizkiyah Hasanah, S.Ag., M.Hum.) beserta Panitera (Bapak Drs. Masyhudi, M.HES.) menghadiri Pembinaan dan Halal bi Halal yang diadakan oleh Pengadilan Tinggi Agama Surabaya pada Kamis, 18 April 2024. Bertempat di Aula Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, acara tersebut dihadiri oleh Ketua Kamar`Agama Mahkamah Agung RI, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya beserta para pimpinan dan jajarannya, Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya beserta para pimpinan dan jajarannya, perwakilan dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Surabaya, para Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, beserta seluruh Ketua Pengadilan Agama di wilayah Jawa Timur. Selain itu, acara ini juga dapat diikuti secara virtual melalui kanal Youtube PTA Surabaya Media.
Dengan mengangkat tema “Esensi Halal Bi Halal dan Merawat Tradisi Nusantara”, Agenda Pembinaan dan Halal bi Halal dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Ustadz Achmad Zaenal Fanani, S.Pd., S.Pd.I., M.Pd. dari Ponpes Nurul Huda Mojokerto dan do’a bersama yang dipimpin oleh Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Bapak Drs. Muhajir, S.H., M.Hum. Acara kemudian dilanjutkan dengan Sambutan oleh Bapak Drs. Ahmad Abdul Hadi, S.H., M.H. selaku Ketua Panitia Halal bi Halal Tahun 2024 dan dilanjutkan dengan Kata Sambutan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Bapak Dr. H. Bahruddin Muhammad, S.H., M.H. Dalam sesi kata sambutan, Beliau menyampaikan bahwa esensi dari Idul Fitri adalah bagaimana kita kembali suci setelah melalui rangkaian ibadah di bulan Ramadan, sekaligus sebagai momentum perubahan menjadi lebih baik lagi di kehidupan masyarakat, salah satunya melalui peningkatan produktivitas dalam rangka penyediaan layanan peradilan bagi masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu, Beliau menghimbau seluruh hadirin agar memaksimalkan percepatan dalam pelaksanaan program kegiatan yang telah disusun, serta berkinerja dalam rangka mencapai output dan outcome terbaik sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi peradilan dapat terwujud dengan maksimal. Sebelum menuju acara inti, acara dilanjutkan dengan sesi penyerahan buku oleh Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung RI, Bapak YM. Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M., CPArb.
Dalam sesi Pembinaan serta Hikmah Halal bi Halal, Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung RI, Bapak YM. Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M., CPArb., menyampaikan bagaimana sejarah dari tradisi Halal Bihalal pertama kali dirintis oleh Pangeran Mangkunegara I sebagai sarana pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana setelah sholat Idul Fitri serta bagaimana tradisi tersebut digelar kembali pasca revolusi kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarno atas saran dari beberapa tokoh kemerdekaan sebagai sarana perekat hubungan silaturahmi secara nasional. Beliau menyampaikan bahwa esensi dari tradisi Halal Bihalal adalah bagaimana tradisi tersebut akan memberikan sebuah pemahaman universal bahwa seseorang menginginkan adanya sesuatu yang mengubah hubungannya dari yang tadinya keruh menjadi jernih. “Halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan saling memohon maaf”, ujar Beliau dalam acara tersebut. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam Halal bi Halal, menurut Beliau, antara lain Nilai Kasih Sayang, Nilai Kebahagiaan, Nilai Ampunan, serta Nilai Keberkahan.
Dalam kaitannya antara Halal bi Halal dengan upaya merawat tradisi Nusantara, Beliau menjelaskan beberapa tradisi Idul Fitri yang hanya bisa ditemukan di Indonesia, antara lain tradisi kunjungan, mengucapkan “Minal Aidin wal Faidzin”, tradisi salam-salaman, serta Ketupat sebagai salah satu icon perayaan Idul Fitri. Beliau memaparkan bagaimana salah satu Walisongo yaitu Raden Mas Sahid atau Sunan Kalijaga memperkenalkan tradisi ketupat secara Islam pada masyarakat sebagai bentuk dari akulturasi budaya, serta filosofi di balik Ketupat, mulai dari makna Ketupat (Ngaku Lepat, Mengaku Salah), filosofi Janur (Jantining Nur, Hati Nurani), beras sebagai simbol dari nafsu duniawi, anyaman janur sebagai lambang kompleksitas masyarakat Jawa yang direkatkan dengan tali silaturahmi, bentuk ketupat yang mencerminkan arah mata angin dan arah kiblat, (kiblat papat limo pancer), serta keseluruhan Ketupat yang melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani. “Dalam kaitannya dengan budaya Nusantara, Ketupat merupakan demitologisasi dan desakralisasi dari pemujaan Dewi Sri yang dimuliakan sejak jaman Majapahit dan Padjadjaran”, ujar Beliau. Sebelum acara Halal bi Halal ditutup dengan sesi salam-salaman, Beliau menyampaikan bahwa untuk mencapai keberkahan dalam Idul Fitri, ada dua macam hal yang perlu diingat (kebaikan orang lain kepada kita, keburukan kita pada orang lain), serta dua hal yang perlu dilupakan (kebaikan kita pada orang lain, keburukan orang lain kepada kita). Tim Medsos
Berita Terkait: