Mahkamah Agung Menuju Lembaga Peradilan Modern Berbasis Peradilan Elektronik E-Court
MAHKAMAH AGUNG MENUJU LEMBAGA PERADILAN MODERN BERBASIS ECOURT
Oleh
ROZY ALIFIAN MUKHTAR, S.H., M.Kn.
(Kasubag Umum dan Keuangan pada Pengadilan Agama Probolinggo)
A. PENDAHULUAN
Dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Adanya lembaga peradilan merupakan syarat mutlak sebuah negara bisa disebut sebagai negara hukum. Sejarah lembaga peradilan di Indonesia sebenarnya sudah ada jauh sebelum jaman penjajahan Belanda. Pada masa kerajaan-kerajaan di nusantara, dikenal berbagai lembaga pengadilan yang berlaku di setiap kerajaan tersebut.
Kekuasaan kehakiman, dalam konteks negara Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh mahkamah agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lindungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara
Lembaga peradilan terus berevolusi dan semakin berkembang dari waktu ke waktu, mengikuti perkembangan jaman itu sendiri. Namun demikian, banyak yang beranggapan bahwa lembaga peradilan di Indonesia, yaitu Mahkamah Agung berikut empat badan peradilan yang di bawahnya masih dianggap tertutup dan terkesan eksklusif. Hal ini menjadikan koreksi bagi Mahkamah Agung untuk terus berbenah.
Kemajuan teknologi informasi adalah sebuah keniscayaan. Dengan adanya teknologi informasi yang semakin canggih dan modern telah mempermudah cara kerja manusia (termasuk tugas peradilan). Laju perkembangan teknologi informasi pada akhirnya menuntut badan-badan peradilan di berbagai negara tak terkecuali di Indonesia untuk mengadopsi penggunaan teknologi informasi.
Pemanfaatan teknologi informasi memberikan dampak positif bagi pembangunan lembaga peradilan. Jika sebelumnya pengadministrasian perkara di pengadilan dilaksanakan secara manual serta memakan waktu lama dan biaya tinggi maka penggunaan teknologi informasi berupaya mempercepat, mempermudah dan mempermurah biaya pengadministrasian perkara tersebut.
Keterbukaan informasi sangat diperlukan untuk mendukung reformasi birokrasi lembaga peradilan di Indonesia. Di dalam Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035[1], disebutkan bahwa salah satu indikator peradilan yang ideal adalah Peradilan yang modern berbasis Teknologi Informasi terpadu.
Pada tahun 2018 lalu, terdapat suatu gagasan dari lembaga peradilan untuk menerapkan suatu digitalisasi perkara dengan menggunakan sebuah aplikasi, yaitu e-Court. Tuntutan perkembangan zaman yang mengharuskan adanya pelayanan administrasi perkara di pengadilan secara lebih efektif dan efisien menjadi latar belakang dibentuknya e-Court.Aplikasi tersebut diharapkan dapat lebih memudahkan pihak-pihak yang berperkara pada lembaga peradilan.
Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Di Pengadilan Secara Elektronik telah mulai menggunakan teknologi informasi guna membantu perbaikan kinerja peradilan.Perma Nomor 03 Tahun 2018 tersebut merupakan inovasi sekaligus komitmen bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam mewujudkan reformasi di dunia peradilan Indonesia (Justice reform) yang mensinergikan peran teknologi informasi (IT) dengan hukum acara (IT for Judiciary)[2]. Dengan kata lain, Mahkamah Agungberupaya mengatasi tiga persoalan yang sering dihadapi lembaga peradilan yakni penanganan perkara yang lambat, kesulitan mengakses informasi pengadilan, serta integritas aparatur pengadilan.
Selama 2018, 17.638 perkara Berhasil Diputus MA. Laporan Tahunan MA menyebut bahwa selama tahun 2018 jumlah perkara masuk ke Mahkamah Agung adalah sebanyak 18.544 perkara yang terdiri dari 17.156 perkara masuk pada 2018 dan sisa perkara tahun 2017 sebanyak 1.388 perkara. Dari segi waktu penyelesaian perkara selama 2018, 96,33% perkara berhasil diputus tepat waktu. Capaian ini melampaui target Mahkamah Agung sendiri yang menetapkan target on time case processing sebesar 75%.[3]
Dengan berbagai capaian positif yang telah diraih Mahkamah Agung dengan penerapan e-Court, sejatinya masih menyisakan persoalan yang menjadi tugas bersama dari aparatur peradilan di seluruh Indonesia, utamanya mengenai perubahan mindset dan cara kerja yang semula konvensional menjadi lebih modern dengan penarapan teknologi informasi. Termasuk juga pemerataan sarana dan prasarana pendukung, sehingga penerapan e-Court menjadi optimal dirasakan hingga ke seluruh wilayah Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian pendahuluan di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam artikel ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Berita Terkait: